Sekolah di sekolah yang favorit penuh dilema bagiku yang mempunyai orang tua dengan taraf ekonomi rendah. Berada di lingkungan yang penuh dengan persaingan akademik tentu butuh banyak duit. Sebagian besar anak-anak yang sekolah di tempat tersebut mengikuti tambahan pelajaran di luar sekolah. Ada yang privat maupun ikut lembaga bimbingan belajar. Ada yang les musik, ada pula yang les vokal. Ada yang ikut pelatihan semacam pelatihan bulu tangkis, tenis meja atau sepak bola. Mereka tidak hanya ikut kegiatan ekstrakurikuler saja tapi ikut klub-klub yang sesuai juga dilakoni. Iri? Jelas aku rasakan, aku iri karena mereka bisa belajar dengan tenang tanpa memikirkan biaya. Sedangkan aku? Harus aku perhitungkan matang-matang.
Sekolahku, menawarkan banyak fasilitas. Asah bakat dan minat. Ekstrakurikuler yang melimpah pilihan. Pembimbing yang berkompeten. Mau olahraga, sains, sastra semua ada. Kita tinggal milih sesuai hobi dan minat kita. Akan tetapi jadwalnya setelah jam KBM. Tentu saja, aku tak mampu.
Sepulang sekolah, aku harus membantu ibu jaga warung. Jarak rumah dan sekolah juga cukup jauh. Aku memerlukan dua kali angkutan umum. Jika aku berangkat lima menit saja terlambat maka akan sampai tujuan dua jam setelahnya. Karena meskipun ada angkutan umum untuk anak sekolah dikhususkan pelayanannya. Jika berangkat maksimal pukul 6.00 pagi. Jika pulang maksimal 14.00 siang. Selebih dari itu maka bersiaplah menunggu berjam-jam untuk naik angkutan umum.
Ada jalur lain seperti ojek atau becak, tetapi biaya tentu lebih mahal. Angkutan umum khusus sekolah cukup membayar dua ribu. Sedangkan ojek atau becak aku harus punya uang minimal lima ribu. Ini gila buatku, dengan uang saku tujuh ribu, aku hanya dapat jatah jajan seribu. Sekelas SMA uang jajanku hanya seribu dan harus membawa minum sendiri. Makanya aku lebih sering di perpustakaan atau mushola. Lapar? Tentu saja, tetapi masih ada kok teman baik yang berbagi makanan denganku.
Alih-alih gengsi dan penasaran mengikuti arus di sekolah. Aku pun ikut seleksi perguruan tinggi PMDK. Keren sekali kan? Tapi bukan doa supaya diterima melainkan semoga aku gagal. Guru BK sudah memperingatkan, jangan daftar di PTN tersebut karena sekolah ku sudah di backlist dari jalur PMDK. Tetapi aku ngotot ikut PMDK hanya karena ingin merasakan sensasi pendaftaran dan pengumuman. Setidaknya aku terlihat wara wiri di ruang BK untuk daftar kuliah di PTN seperti teman-teman yang lain. Miris dan pilu rasanya harus mengubur cita-cita kuliah.
"Shan... Yuk daftar di UNNES aja, banyak kok yang diterima jalur PMDK. Kamu pasti bisa, ambil progdi yang aman."Suatu saat Widya mengajaku.
"ah... Nggak lah, di UNNES banyak teman-teman kita, masa SMA bareng, kuliah bareng lagi? Pengin lah dapet temen baru gitu" aku hanya mencari alasan saja.
"tapi kemungkinan kuta ditrima di situ lebih besar, dari pada kamu daftar di PTN itu, kan Bu Yuli bilang kalau Kemungkinan diterima disitu hampir nol persen" Widya masih membujukku.
"Aku tau itu Wid, daftar kuliah agar aku terlihat sama dengan teman-teman yang lain. Dan gagal di PTN tersebut tidak memalukan karena se SMA pun tau kalau sedikit sekali kesempatan diterima disitu. Tetapi jika aku daftar di PTN lain, kalau aku diterima aku harus siap uang, sedangkan jika gagal jelas ada rasa malu." gumamku dalam hati.
"Yuk Shan, daftar bareng aku" bujuk Widya melamunkanku.
"Kapan paling lambat daftar disitu" tanyaku basa basi.
"Seminggu lagi, masih ada waktu kok" jawab Widya serius.
" Aku harus pulang dulu dong, kalau lewat telepon nggak enak ngomongnya sama ortu" masih mencari alasan.
"Udah telepon aja, aku juga lewat telepon kok" Widya masih membujuku. Aku tersenyum tanpa jawaban.
Hujan tadi sore mengantarkanku dalam kegelisahan. Mendengar Widya bertelponan dengan orang tuanya di Wartel hatiku semakin teriris. Aku iri melihatnya, dia tinggal tunjuk kuliah dimana saja tanpa memikirkan bagaimana biayanya.
Semoga aku bisa kuliah entah kapan pun waktunya.